Jumat, 28 April 2017

Jalan Baru untuk Jadi Selebriti





Dalam beberapa tahun terakhir ini, tren digital baru muncul di Tanah Air. Tren yang dimaksud yaitu munculnya layanan live streaming dan broadcasting. Layanan ini pada intinya membawa komunikasi dua arah antara penonton dan pemilik atau pencipta konten.
Dalam layanan ini, penyiar, atau host sebagai pemilik konten akan berusaha menarik perhatian penonton dengan aksinya. Penonton akan memberi apresiasi atas konten yang menarik dengan memberikan gift. 
Layanan live streaming dan broadcasting menjadi ladang bisnis baru bagi pengguna internet. Cukup di depan laptop, siaran mendapatkan apresiasi dari penonton dalam berupa gift, maka sang host bisa mendapatkan uang.
Namun, meski mudah dan fleksibel, nyatanya layanan ini belum begitu populer, dan terus bertumbuh di Indonesia. Awalnya, pemain pionir layanan ini yang masuk di Indonesia, yakni CliponYu, yang berasal dari Tiongkok pada 2014. Kemudian, disusul deretan pemain sejenis lainnya, yaitu Bigo Live, Nono Live, Siaranku, dan 17 Media. 
Sebagai pendatang baru, 17 Media sadar persaingan dalam bisnis live streaming dan broadcasting cukup ketat. Untuk itu, layanan asal Taiwan ini berupaya menghadirkan beberapa pembeda dengan pemain lama yang sudah hadir di Tanah Air.
Country Manager Indonesia 17 Media, Andryan Gouw mengatakan, salah satu ambisi 17 Media yaitu menjadi alternatif TV bagi generasi digital di Tanah Air.
Andryan mengatakan, sejatinya industri live streaming dan broadcasting sudah berkembang, namun potensi dan peluang itu terganggu dengan munculnya salah satu platform yang kontennya menjurus ke pornografi dan dewasa. Hal ini, membuat perjuangan mengedukasi pengguna di Indonesia kian panjang dan berat. Berikut, petikan wawancara VIVA.co.id dengan Andryan di kantornya yang minimalis:
Sudah banyak pemain live streaming broadcasting di Indonesia. Apa yang ditawarkan platform Anda?
Diferensiasi utama itu adalah kualitas konten. Jadi, misalnya aplikasi-aplikasi lain kan cenderung user generated content, orang yang masuk ke sana organik untuk menemukan ketenangan dan menjadi hobi. Kemudian, ada yang cenderung merekrut (host) dan cemplungin ke sana untuk kemudian melihat mana yang beruntung.
Kalau kami ada semacam akademi, ada coach, talent manager yang memastikan si talent-tanlet ini, tak sekadar siaran sendiri secara bebas. Tetapi, ada aturan dan materi kepada mereka sebagai edukasi menjalankan live streaming, sehingga lebih berkualitas, tidak sembarangan. Misalnya, (siaran) sambil tiduran, sambil nyalon. Kan, jadi enggak menarik dari perspektif penonton, enggak ada interaksi.
Streaming ini kan bedanya dengan radio, kan menawarkan komunikasi dua arah ya. Radio enggak bisa tegur sapa dengan penyiarnya. Streaming ini tujuannya, agar saling berkomunikasi dan feed back langsung ke penyiarnya.
Penyiar interaktif, kooperatif dan kalau diberi gift, ya mereka akan membalasnya sebagai ucapan terima kasih. 
Kita enggak sembarangan jadikan talent-talent sebagai host. Terdapat prosesnya yaitu di-trainingdievaluasi secara rutin, bahkan antarcoach ada kompetisi, siapa timnya yang paling bagus. 
Peta industri live streaming broadcasting di Indonesia bagaimana?
Tiga tahun lalu awal mula lahirnya industri baru, live streaming dengan datangnya CliponYu, tetapi entah kenapa nge-hits cuma enam bulan pertama. Setelah itu, enggak seheboh pertama kali. Ini sudah jalan sampai jadi basi, tak berhasil jadi mainstream, kesempatan (industri untuk tumbuh) itu hilang lagi. Ketika versi mobile-nya (CliponYu versi mobile) muncul, kemudian Nono Live dan lain-lain dan menjadi lebih hidup, Tapi memang, belum arahnya yang menjadi mainstream kayak YouTube. 
Beruntungnya, kali ini momentumnya lumayan tepat, berbarengan yang baru-baru ini, muncul Instagram Live, Facebook Live, YouTube Connect. Mereka menawarkan live streaming. Bedanya, mereka utamanya bukan live streaming, kalau yang mau (fokus live streaming) yang baru-baru ini.
So far yang saya lihat, mereka kurangnya dari segi penyajian konten. Dunia live steraming kebanyakan wanita, sebagai host. Ada beberapa cowok yang sukses, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Ceweknya 99 persen, cowoknya satu persen bisa dikatakan begitu. Makanya, ini yang menjadikan live streaming itu belum jadi mainstream. 
Kita harapkan, yang cewek terus berpartisipasi. Kalau industri akan sukses, harus melibatkan wanita, maksudnya sebagai penikmat atau penonton live streaming. Sampai sekarang, masih terbatas pada niche market. 
Munculnya Instagram Live, Facebook Live, apakah menjadi ancaman enggak?
Ancaman atau enggak, sulit dibilang sebagai ancaman ya. Sebab, kita tak pernah tahu rencana mereka akan seperti apa. Tetapi, kalau model bisnisnya akan sama dengan kita lakukan, maka itu ancaman sekali, mereka bisa lakukan dengan skill yang jauh lebih besar. 
Jadi kemarin, Instagram Live kerja sama Dian Sastro. Sementara, live streaming dan broadcasting dari awal berusaha mendapatkan artis kelas atas seperti Dian Sastro, tetapi itu susahnya setengah mati. Image-nya (citra live streaming dan broadcasting) kan negatif gara-gara aplikasi tetangga.
(Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir Domain Name System (DNS) aplikasi Bigo Live sejak Desember 2016. Sebelum diblokir, terungkap Kominfo telah mengincarnya sejak November 2016. Alasan pemblokiran dari Kominfo terhadap Bigo Live ini, yakni berdasarkan laporan dari masyarakat. Kemudian setelah itu, Kominfo terus mengamati adanya dugaan konten dewasa yang terdapat di Bigo Live tersebut. Setelah diblokir, Kominfo membuka blokir Bigo Live)
Tapi dengan adanya Instagram Live membantu sedikit, edukasi. Saya enggak tahu challenge-nya. Tapi di AS, Facebook itu bayar selebriti untuk Live ya. Enggak tahu apakah model bisnis ini bisa direplikasi di sini, tetapi saya rasa Indonesia bukan pasar utama Facebook. Facebook lebih fokus di AS, Kanada, Eropa. Setelah mereka habis di situ, baru ke Asia. Harusnya dalam waktu dekat mereka enggak akan langsung (bermain live streaming dan broadcasting) YouTube punya super chat di YouTube Connect, itu mirip bisnis model yang dijalankan oleh platform baru seperti ini. 
Tantangan pengembangan layanan live streaming broadcasting apa ya?
Mematikan image negatif. Karena, ketika Dian Sastro manajernya tahu live streaming dan broadcasting, langsung konotasinya ke negatif. Itu lumayan memengaruhi penilaian orang. Saat kita rekrut host pun, banyak orangtua mereka yang memandang negatif, karena terbawa kasus Bigo Live beberapa waktu lalu. 
(Rata-rata host pada layanan live streaming dan broadcasting adalah remaja. Untuk itu penyedia layanan ini menyaratkan yang ingin menjadi host, harus mendapatkan izin dari orang tua secara tertulis)
Mengubah image negatif itu bukan sebuah pekerjaan mudah bagi sebuah brand. Makanya ubah negatif sangat butuh effort dan waktu.

0 komentar:

Posting Komentar