Pemerintah melalui Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa waktu lalu menerapkan kantong
plastik berbayar untuk mengurangi limbah plastik, diawali di ritel
modern.
Kebijakan pemerintah itu dituangkan dalam surat edaran (SE) yang
dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Nomor:
S.71/MENLHK–II/ 2015 pada 21 Februari 2015. Menggandeng Asosiasi
Perintel Modern Indonesia (Aprindo), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) kantong plastik berbayar mulai diterapkan pada Mei 2016 silam.
Setelah berjalan tiga bulan, Aprindo yang mendapat banyak masukan
menilai bahwa program tersebut mulai dapat diterima dengan baik di
masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, setelah memasuki bulan
ketujuh, harapan Aprindo agar pemerintah mengeluarkan landasan hukum
untuk memperkuat SE tersebut tidak juga dikeluarkan.
Bahkan, Kementerian KLHK sempat mengeluarkan SE baru tanpa melibatkan
Aprindo yang salah satu isinya adalah meminta pemerintah daerah (pemda)
provinsi maupun kabupaten/kota termasuk produsen serta pelaku usaha
melakukan langkah stimulan dalam pengurangan dan penanganan sampah
plastik.
Poin penting lainnya dalam SE tersebut, pemkab/pemkot diminta melakukan
pembinaan dan memfasilitasi penerapan teknologi ramah lingkungan,
merujuk pada Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah.
Hal ini jelas membuat Aprindo meradang, hingga akhirnya mereka pun
menghapus penerapan kantong plastik berbayar dengan alasan karena tidak
adanya landasan hukum yang kuat.
Bagaimana asosiasi yang memiliki 3.500 anggota di seluruh Indonesia
ini mensikapi hal tersebut, dan bagaimana Aprindo menghapus stigma jika
ritel modern dianggap sebagai penyebab hancurnya toko tradisional?
Berikut petikan wawancara
VIVA.co.id dengan Ketua Umum Aprindo,
Roy N. Mandey pertengahan Oktober lalu:
Apa alasan Aprindo tertarik mengikuti program kantong plastik berbayar?
Pada prinsipnya kami mendukung program pemerintah dalam hal pengurangan
sampah plastik karena sangat baik bagi lingkungan kita dan generasi
mendatang. Dalam pelaksanaannya Aprindo diajak oleh KLHK untuk mendapat
kesempatan pertama melakukan uji coba program pengurangan sampah
plastik ini sesuai dengan SE Nomor: S.71/MENLHK–II/ 2015 pada 21
Februari 2015 yang berisi pola kerja yang akan dilakukan oleh Aprindo
dalam masa uji coba selama tiga bulan.
Tercantum dalam SE itu, pertama bahwa pemerintah dalam hal ini KLHK,
Badan Perlindungan Konsumen Nasional, YLKI dan Aprindo sepakat
menjadikan uji coba ini dalam satu periode tertentu sampai dengan 30 mei
2016. Dengan sasaran 19 kabupaten/kota dan satu provinsi.
Kedua, adalah Aprindo akan menjadikan kantung belanja menjadi produk
jualan, dengan harga yang telah disepakati yaitu Rp200 per kantong
plastik. Akhirnya pada kami mulai melakukan uji coba tersebut di anggota
kami di wilayah yang telah ditunjuk sebagai lokasi uji coba.
Tujuannya supaya masyarakat supaya bisa memilih, kalau tidak mau
membeli kantong plastik ya bawa sendiri. Diawal program ini berjalan
cukup baik, karena berdasarkan survei ada 20 persen-30 persen dari
konsumen yang sudah mulai mengerti.
Lalu, kenapa kemudian Aprindo akhirnya menghapus program ini?
Nah saat 30 Mei, dan program sudah berjalan tiga bulan kami Aprindo
menunggu dan mengharapkan agar kementerian KLHK mengeluarkan atau
landasan hukum dalam bentuk peraturan menteri yang bisa menguatkan
peraturan tersebut.
Namun, jangankan landasan hukum kenyataannya malah bikin kami agak
kecewa karena setelah 30 Mei perpanjangan SE tidak juga kami dapatkan.
Sehingga pada 1 Juni anggota mulai bingung dan bertanya-tanya bagaimana
selanjutnya program uji coba ini, dan kalau tidak ada dukungan dari
peraturan di atasnya.
Malah pada 6 Juni 2016, keluar SE baru yang isinya berbeda dengan
yang pertama. Dalam SE ini ada penambahan jika selanjutnya wewenang
sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah terkait sesuai peraturan
yang berlaku untuk pengelolaan sampah plastik ini, namun harga jual dari
kantong tetap milik peritel. Dan program kantong plastik berbayar
diperluas hingga seluruh Indonesia.
Lalu apa yang mendasari kekecewaan itu?
Jelas kami kecewa, karena kami tidak dilibatkan dalam kesepakatan SE
kedua itu karena dinilai periode pertama sukses maka diluaskan seluruh
Indonesia.
Kami lihat dalam SE itu tentunya ini dapat menimbulkan perbedaan
persepsi karena tidak distandardisaskan untuk semua wilayah, tapi
wewenang di lemparkan ke pemda ini yang kami sesalkan, karena semangat
dari peraturan menteri adalah semangat yang instruksinya untuk dilakukan
oleh seluruh daerah dengan satu prinsip peraturan menteri.
Nah kalau ini diserahkan ke pemda berarti dia bisa leluasa membuat
peraturan seperti peraturan gubernur, bupati, walikota. Akhirnya seperti
sudah kami prediksi di sinilah titik lemahnya dan ternyata benar, bulan
pertama masih bagus setelah ada SE tersebut, karena akhirnya mulai ada
intervensi dan banyak kepentingan dari daerah terkait program tersebut.
Intervensi dalam bentuk apa?
Intervensi yang terjadi adalah ada daerah yang membuat peraturan di
kotanya tidak boleh ada kantong plastik, ininkan aneh. Selain itu juga
daerah yang menerapkan harga kantong plastik mulai Rp500, Rp2.000 bahkan
ada juga yang Rp5.000 karena semua diserahkan ke pemda, jadi mereka
yang menerapkan nilainya.
Lalu bagaimana dengan harga yang telah ditetapkan Rp200?
Dengan adanya kewenangan di pemda inilah, jadi jika ada yang
menerapkan Rp5.000 maka ritel hanya dapat Rp200 dan sisanya masuk ke
pemda. Hal seperti sudah kami prediksi saat kami tidak dilibatkan
karena semangat otonomi daerah punya harapan dan kepentingan, itulah
intervensi yang kami dapatkan.
Selain itu apalagi yang dialami anggota Aprindo?
Selain soal harga dan kewenangan pemda, yang lebih parah adalah
karena tidak ada landasan hukumnya, ada anggota kami yang dipanggil
kepolisian. Karena ada laporan dari masyarakat yang tidak terima jika
harus bayar kantong plastik. Pemanggilan itu karena kepolisian
menanyakan landasan hukum dari program tersebut sementara kami hanya
mengantongi SE.
Jadi bisa dibayangkan anggota kami lagi dagang di BAP kemudian polisi tanya landasan hukum. Banyak lagi bahkan ada pengacara
private yang menanyakan landasan hukumnya, padahal niat kami adalah membantu pemerintah dalam mengurangi sampah plastik.
Langkah apa yang selanjutnya dilakukan Aprindo?
Akhirnya setelah ada banyak laporan ke kami dari anggota, apalagi
saat itu mendekati libur November dan puncaknya belanja pada Desember
serta memasuki Pilkada juga, kami akhirnya memutuskan per 1 Oktober 2016
Aprindo menyampaikan ke publik dan pemerintah bahwa kami tidak lagi
memberlakukan kantong plastik berbayar. Artinya kantong plastik akan
didapatkan gratis oleh konsumen.
Kami akan konsisten untuk menggratiskan kantong plastik ini sampai
ada landasan hukum dan payung hukum yang jelas kami mungkin akan berani
lagi melaksanakan program tersebut.
Selain itu kami juga minta diikutsertakan sebagai perwakilan
pengusaha apabila memang akan dibuat landasan hukum atau peraturan
menteri terhadap penerapan kantong plastik berbayar. Saya sih dengar
akan diupayakan pada Oktober, tapi saya kok tidak yakin ya.
Apa yang dilakukan pemerintah ini dinilai tidak konsisten?
Saya sempat menyampaikan ke Bu Menteri bahwa dalam program publik ini
diperlukan road map atau perencanaan baku sehingga dapat
diimplementasikan dengan sebaik-baiknya.
Bisa dibayangkan kalau satu program dijalankan tanpa
road map, mohon maaf akhirnya yang terjadi adalah tumpang tindih kepentingan yang hasilnya bukan meningkatkan
skill ekonomi dan malah menghambat pertumbuhan dan kemajuan ekonomi.
Lalu apa harapan Aprindo terkait program tersebut?
Pertama, perlu kejelasan
road map mau dibawa ke mana program
menyelamatkan lingkungan dari kantong plastik, mesti ada kepastian.
Kedua adalah kepastian berupa peraturan menteri atau kepastian landasan
hukum sehingga secara nasional dapat diimplementasikan tanpa adanya
kepentingan masing-masing.
Ketiga, kampanye ke masyarakat yang berkelanjutan dan juga bekerja
sama dengan pelaku usaha untuk mengedukasi masyarakat. Bisa dibuat
kampanye yang lebih luas lagi dan lebih jelas. Saya kira kalau tiga hal
itu bisa dilakukan, pelaku usaha dan masyarakat akan mengerti
selanjutnya program akan berhasil sesuai rencana pemerintah.
Dengan kondisi tadi, apakah pendapatan ritel modern terpengaruh?
Sebetulnya tidak jelasnya program kantong plastik berbayar tidak berpengaruh terhadap pendapatan ritel. Kami mulai melakukan
recovery
pada tahun ini, karena tahun lalu kita hanya tumbuh tujuh persen. Saat
itu pemerintah kita alami keterpurukan di mana rupiah melemah, harga
gas, listrik, minyak tidak turun.
Ditambah lagi Anggaran Pendapatand dan Belanja Negara baru dikucurkan
pada pertengahan tahun karena ada revisi, ya kita tahulah APBN
sebelumnya kan dibuat oleh pemerintah sebelum Pak Joko Widodo, dan saat
itulah belanja masyarakat di ritel modern terpuruk.
Banyak anggota kami yang ingin buka lima sampai enam toko pada tahun
2015, akhinya hanya bisa buka satu toko. Recovery mulai kamu rasakan
setelah lebaran 2016 dan kami harapkan pendapatan akan tumbuh 10
persen-11 persen atau mencapai Rp200 triliun pada tahun ini.
Apa yang masih menjadi penghambat berkembangnya ritel modern?
Kendala mikro adalah masih banyak peraturan yang belum direlaksasi
baik di kementerian perdagangan maupun kementerian terkait sehingga
banyak benturan saat toko modern akan ekspansi atau buka toko.
Contoh saja pada tahun lalu berlaku peraturan presiden No.112, dalam
berbagai kesempatan kami minta perpres itu direvisi mudah-mudahan tahun
ini sudah ditandatangani dan sudah sesuai dengan aspirasi kami.
Yang cukup mengganggu kami adalah tentang rencana detil tata ruang,
tahun lalu saja dari 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi baru sembilan
kota yang memiliki RDTR artinya saat kita akan buka toko di kota yang
tidak punya RDTR harus mengeluarkan ekonomi tinggi.
Sementara pekerjaan rumahnya ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR), bukan di Kemendag, inilah menghambat
pertumbuhan ritel dan bagaimana kita mau berkembang kalau regulasi belum
direvisi.
Saat ini ritel modern makin menjamur, mulai banyak penolakan
dan tudingan ritel modern mengganggu toko tradisional. Bagaimana Aprindo
mensikapinya?
Dilihat secara Undang-undang No.7 tahun 2014 yang membagi pasar
menjadi pasar rakyat dan toko syawalayan, jadi sudah ada perbedaan
antara keduanya.
Misalnya di pasar rakyat atau sering dikenal pasar tradisional itukan
jelas segmentasinya berbeda karena konsumen mencari barang yang
sifatnya fresh seperti ikan dan sayur segar artinya langsung dari petani
dan nelayan dan di sana juga ada tawar menawar.
Sementara di pasar modern, itu ada karena gaya hidup, biasanya
pasangan baru yang mau cepat praktis karena tuntutan gaya hidup. Di sana
juga tidak ada tawar menawar karena pasar modern memberikan kepastian
harga, di pasar modern harga sudah yang margin.
Dari contoh itu kelihatan segmen yang berbeda, jadi sangat tidak
beralasan jika keberadaan pasar modern akan menggerus pasar rakyat
apalagi jumlah pasar rakyat jumlahnya tiga jutaan sedangkan ritel modern
hanya 3.500. Cukup beralasan juga jika Presiden Jokowi meminta agar
pasar rakyat memperbaiki pasarnya menjadi lebih modern.
Lalu apa kesiapan Aprindo menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN?
Ada harapan dengan MEA ini, artinya jika selama ini ada 250 juta
penduduk Indonesia, dengan MEA akan ada 600 juta yang harus dilayani. Di
sinilah bagaimana kami harus siap melayani 600 juta penduduk itu, dan
harapannya akan difasilitasi dari pemerintah sehingga ritel modern kita
akan berkembang tidak hanya di dalam negeri tapi juga di kawasan ASEAN
khususnya.