Siapa yang tak kenal dengan biskuit Khong Guan, terutama gambar ilustrasinya yang begitu fenomenal beberapa dekade belakangan.
Ya, kaleng dengan gambar ilustrasi ibu bersama dengan kedua anaknya
ini hampir selalu ada dalam tiap perjamuan acara besar keluarga di
Indonesia. Bahkan, tak lengkap rasanya jika tak ada Khong Guan di hari
Lebaran.
Tidak berhenti di situ, kepopuleran ilustrasi kaleng biskuit asal
Singapura ini juga sering dijadikan bahan lelucon di media sosial,
terutama dengan keberadaan sang ayah yang tidak tampak dalam ilustrasi
keluarga yang hampir sempurna tadi.
Meski kepopuleran gambar itu melambung tinggi, tapi tak banyak yang
mengetahui sosok di belakang karya yang telah berusia kurang lebih 40
tahun tersebut. Bahkan, namanya juga begitu saja terlupakan, setelah
honor gambarnya dibayar lunas.
"Tidak ada royalti, begitu bayar selesai, sudah kita cari perusahan
lain," kata Bernardus Prasodjo, pria berusia 68 tahun di balik
kepopuleran gambar-gambar ilustrasi di banyak produk makanan di
Indonesia, kepada
VIVA.co.id di kediamannya di Jalan Kalipasir, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu 22 November 2016.
Tapi, apakah ada penghargaan khusus terkait karyanya? Pria kelahiran Solo 25 Januari ini menjawab santai disusul tawa. "
Ndak, ndak ada, karena yang punyanya saja saya tidak kenal," katanya.
Awal mula diminta menggambar untuk Khong Guan
Pria yang juga menggambar ilustrasi untuk biskuit Monde dan Nissin
ini kemudian memulai awal ceritanya, ketika dimintai menggambar
ilustrasi kaleng biskuit berwarna merah itu.
Dia kembali menyebut bahwa dirinya sama sekali tidak pernah kenal,
apalagi bertatap muka, dan menerima bayaran langsung oleh pihak Khong
Guan. Dirinya hanya diminta menggambar, oleh sebuah perusahaan separasi
warna langganannya yang berlokasi di Jalan Biak, Cideng, Jakarta Pusat.
"Pelanggan saya itu sebuah perusahaan separasi warna di Jalan Biak. Mungkin dia yg menerima
order kaleng ini. Dia panggil saya, dia cerita, ada contohnya, pemesannya memesan begini-begini. Kita
sketch dulu, kita ajukan lagi, kita ubah sedikit lalu jadilah seperti sekarang ini," ujar ayah anak tiga ini.
Di ruang tengah rumahnya yang dipenuhi lukisan bergambar kuda,
Bernardus bercerita bahwa kala itu ia hanya diminta membuat ilustrasi
dari sebuah foto dari secarik kertas yang sudah tidak begitu baik
tampilannya.
"Sudah ada semacam contoh tapi tidak jelas. Ada koran tapi tidak
jelas. Ada ibu dan anak dan komposisinya kurang bagus, hanya
diubah-ubah," kata dia.
Saat ditanya apakah gambar pada kertas tersebut persis seperti yang
digambarnya, ia mengatakan bahwa hasil karya buatannya jauh berbeda. Ia
hanya diminta menggambarnya.
"Mintanya begitu, cuma bertiga. Mungkin kalau berempat jadi kecil," kata dia.
Di mana sosok sang ayah di gambar kaleng?
Semakin lama, cerita Bernardus semakin mengarah pada tanda tanya
besar seluruh orang, terkait dengan absennya sosok sang ayah dalam
gambar ilustrasi keluarga yang terkesan begitu harmonis di meja makan
itu.
Tapi, lagi-lagi Bernardus menjawabnya dengan santai. "Mungkin kalau berempat jadi sempit, makanya bapaknya enggak ada."
"Saya enggak bisa jawab apa-apa, cuma di
meme itu banyak yang bilang bapaknya yang lagi motret. Jadi itu bukan saya yang bilang, saya
sih cuma ketawa-ketawa saja.
Meme kan lucu-lucu," ujarnya menambahkan sambil diiringi tawa.
Ia pun tak mempermasalahkan dengan banyaknya
meme yang
menggunakan karyanya sebagai bahan lelucon. Ia sendiri beranda-andai,
jika dirinya masih muda, mungkin dirinya sering membuat
meme.
"Mungkin kalau saya masih muda gambar-gambar begitu lagi, karena kalau sekarang sudah tidak ada waktu,” katanya.
Bahkan, hingga saat ini, ia tidak mengerti mengapa karyanya yang satu
itu bisa demikian ikonik dan menjadi populer. Menurutnya tidak ada yang
fenomenal dari gambar tersebut, bahkan terbilang sangat biasa.
"Karena gambar kemasan ini ratusan, tapi yang masih bertahan ya ini,
yang lain sudah diganti, mungkin produsennya menganggap produknya sudah
laku, jadi tidak perlu diganti. Jadi sebetulnya tidak ada yang
istimewa," dia menjelaskan.
Saat ditanya mengenai honornya pada saat itu, Bernardus berusaha
keras mengingat berapa besaran bayaran yang diterimanya ketika dimintai
menggambar ilustrasi tersebut.
"Sudah lupa. Ya tapi bisa hidup sekeluarga sama anak, karena dulu
graphic desainer
itu sangat sedikit. Kita banyak dicari orang. Jadi untuk menyelesaikan
itu sampai enggak tidur, enggak makan. Ya ada, tapi enggak banyak
saingannya," kata dia.
Bakat seni menurun dari sang ayah
Bernardus kemudian juga kembali menarik mundur beberapa dekade silam,
awal dirinya terjun ke dunia menggambar. Tampaknya, darah dan bakat
seni yang dimiliki ayahnya yang juga seorang pelukis menjalar ke
dirinya. Sejak kecil ia mengaku menyukai menggambar.
Ia sendiri tidak pernah bercita-cita untuk mendapatkan uang dari
menggambar. Sang ibu bahkan sempat melarang dirinya mengikuti jejak
karier ayahnya. Maklum, sang ibu berkaca dari hidup ayahnya yang
menurutnya pas-pasan.
"Kalau zaman dulu malah orangtua sedih kalau anak jadi pelukis karena
enggak ada duit. Karena itu orangtua tidak setuju, karena zaman dulu
pelukis itu tidak ada duitnya.
Pinginnya jadi arsitek,” ujar pria yang pernah menjadi mahasiswa di Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Sayangnya, ia gagal menyelesaikan kuliahnya lantaran kebanjiran
pesanan untuk karya ilustrasi. Waktunya pun tersita karena terlalu sibuk
membuat komik.
"Bikin komik itu bukan maunya saya, saya di Bandung, kos, di Jalan
Lengkong Kecil 41 Bandung, persis di sebelahnya redaksi Aktui. Saya suka
main ke situ lama-lama disuruh buat cerita bersambung komik. Sudah,
saya bikin saja," ujarnya bercerita.
Nasib baik justru menuntunnya untuk menekuni profesinya membuat
ilustrasi banyak kemasan produk makanan. Karya untuk ilustrasi
kemasannya sendiri diakui telah mencapai ratusan. Tapi ia kembali masih
tidak habis pikir mengapa karya di kaleng Khong Guan itu begitu populer.
Lebih jauh, ketika ditanya apakah ada karya ilustrasi lain yang mampu menandingi kepopuleran Khong Guan ia menjawabnya mantap.
"
Ndak ada, ini (ilustrasi Khong Guan) paling populer.
Sebetulnya gambarnya begitu saja, kalau dibanding yang lain juga kalah
bagus, cuma kalengnya kuat, yang lain rapuh," kata dia.
Terpaksa menolak tawaran menggambar
Beberapa kali, ia pun sempat kembali mendapatkan tawaran untuk
menggambar ilustrasi untuk produk. Namun tawaran itu ditolaknya, karena
tak memiliki waktu. Maklum, beberapa tahun belakangan, Bernardus memang
lebih banyak mengabiskan waktu untuk memberikan pelatihan pengobatan
dengan teknik prana ke beberapa daerah.
Zaman berubah, keahliannya ia katakan juga kian tergerus dengan teknologi. Ia mengakui hal itu.
"Kalau sekarang kan sudah pakai komputer, dulu itu karya kreatif
semua, kalau dulu satu iklan itu bisa dua hari, sekarang dua jam jadi.
Dulu kan semua ditempel pakai tangan begitu," ujarnya menjelaskan.
Tapi ada satu hal yang saat ini masih ia yakini dalam menjalankan profesinya sebagai pelukis.
"Ya, kalau kita mau bekerja, bekerjalah sesuai dengan apa yang kita
cintai. Kalau suka melukis, kerjalah di bidang itu. Jadi kerja itu
seperti hari libur santai karena kita suka. Kalau tidak suka, pasti
sehari itu lama sekali," ucapnya bijak.
Lebih jauh ia juga sedikit mengkritik gaya beberapa orang yang
mengaku sebagai seniman belakangan ini. Ia kerap melihat bahwa gaya
seorang tidak berbanding dengan karya yang telah dihasilkannya.
"Karena menurut saya, saya pernah jadi dosen, para murid itu sudah
bergaya seniman, (tapi) karyanya belum ada. Setelah populer barulah
rambutnya gondrong, tapi belum-belum sudah kayak seniman gondrong,
karyanya belum ada," ujarnya.
Lalu bagaimana tampilan Bernardus saat muda?
"Tampilannya biasa saja, memang zaman dulu rambut rada panjang. Teman juga seperti itu, tidak ada yang istimewa,” katanya.
Di samping itu, ia mengatakan bahwa kini pekerjaan sebagai seorang
ilustrator juga cukup menjanjikan. Ia mengaku mampu membeli rumah, mobil
hingga menyekolahkan ketiga anaknya yang salah satunya menjadi dokter
dari hasil menggambarnya.
Mata Bernardus kembali menerawang, ketika ditanya, berapa lama lagi karyanya akan bertahan di pasaran.
"Kita tidak tahu perkembangan kemasan akan seperti apa. Tapi kayaknya
20-25 tahun lagi masih bisa bertahan,” katanya sambil tersenyum.