Selasa, 28 Mei 2013

Pabrik Mobil Listrik di Sejumlah Negara Bangkrut, Apa Sebabnya?





Di tengah harapan yang membuncah, kabar ini cukup mengejutkan. Senin 27 Mei 2013, sejumlah media di Amerika Serikat ramai memberitakan tentang bangkrutnya sejumlah perusahaan otomotif yang memproduksi mobil listrik. Beberapa perusahaan memilih menutup pabrik. Beberapanya lagi melikuidasi unit mobil listrik dan mengabungkannya dengan unit lain. 
Padahal sebelumnya ramai dikabarkan --setelah jaya tahun 1920 dan nyaris mati selama 91 tahun -- mobil listrik bakal kembali berjaya di seantero dunia. Sebab lebih ramah lingkungan. Bersuara lembut alias tidak bising di jalanan. Dan banyak perusahaan otomotif dunia melirik dan memproduksi mobil jenis ini. Dan semula memang cukup laris. (Baca: Kisah Raja Jalanan Ohio) 
Lalu mengapa tiba-tiba tersungkur?  Banyak jawabannya. Sebab banyak masalah pada mobil ini. Dan salah satu masalah itu datang dari jalanan Kota Paris 2011 lalu. Hari itu di salah satu jalan kota itu mendadak heboh. Seorang wanita yang berjalan kaki dan menyeberang tiba-tiba disambar mobil. Padahal mobil itu tidak sedang kencang melaju. Wanita itu memang tidak luka parah. Hanya memar.
Wanita yang tidak disebutkan namanya itu lalu diinterogasi polisi. Mengapa menyeberang dengan santai di saat ada mobil yang melaju. Jawabannya cukup mengejutkan dan tidak bisa dipercaya. Wanita ini sama sekali tidak mendengar suara mobil yang menabraknya itu. Padahal dia sama sekali tidak tuli. Polisi tidak percaya dan menganggap jawaban itu kelakar belaka.
Tapi belakangan para produsen otomotif, juga para polisi di Prancis itu percaya dengan jawaban wanita ini. Dan itu berkat penelitian yang dilakukan Highway Loss Data Institute(HLDI) di negeri itu. Sedikitnya 20 persen kasus tabrakan terhadap pejalan kaki terjadi dengan mobil listrik ini. "Mobil listrik sangat senyap. Pejalan kaki tak akan mendengarnya saat mendekat sehingga kurang awas di jalan," demikian pernyataan HLDI sebagaimana dilansirAutoevolution.

Pemerintah Kota Paris beberapa tahun belakangan memang tengah gencar menerapkan skema rental kendaraan listrik 'Autolib'. Termasuk juga untuk taksi, yang sudah menggunakan mobil listrik . Peminatnya banyak. Tapi kasus yang terjadi pada wanita yang menyeberang itu dan hasil penelitian HLDI itu ramai diberitakan media massa. Banyak kemudian yang mempersoalkan apakah pilihan mobil listrik itu sudah benar.
Sadar dengan kelemahan itu, dan jika tidak dibenah bisa ditinggal peminat, produsen mobil listrik kemudian berbenah. Mereka akhirnya menambahkan suara pada mobil. Mobil akan berbunyi pada kecepatan di bawah 15 mph atau 24,1 km/jam--saat mobil mengandalkan baterai sebagai sumber energi.
Meski penambahan suara itu menghilangkan satu keunggulan mobil listrik, solusi ini diramalkan bakal manjur. Itu sebabnya para produsen kembali memproduksi mobil listrik secara massal demi menandingi mobil bensin, diesel dan gas.  Celakanya reaksi pasar justru kian memburuk. Banyak pembeli menghindar.
McKinsey and Company dariNew York, Amerika Serikat, sebagaimana dilansir Inautonews, menemukan bahwa satu dari tiga pemilik mobil listrik di Jepang kapok membeli. "Mobil listrik merupakan bagian dari kemajuan teknologi tetapi mudah ketinggalan zaman. Bayangkan saja konsumen masih menggunakan walkman sementara yang lain sudah menggunakan iPod," komentar Dave Sullivan, Manajer Analisis Produk dari Auto Pacific Incorporated.
Di samping kesulitan teknologi, kampanye bahwa mobil  listrik itu bisa ngirit juga ternyata tak sepenuhnya benar.  Sebab tagihan listrik di rumah membengkak. Kisah para pemilik mobil yang kesusahan mencari tempat pengisian baterai juga ramai ditulis media massa. Laporan McKinsey juga menemukan bahwa banyak konsumen tidak dibekali informasi cukup tentang mobil listrik. Keputusan mereka membeli demi ingin tahu belaka dan memperoleh pengalaman baru.

Penjualan mobil listrik di Amerika memang meningkat tiga kali lipat, menjadi 50.000 unit pada tahun lalu. Tetapi angka itu masih jauh dari ekspektasi para analis. Tentu saja, ini menjadi kabar buruk bagi produsen mobil listrik di seluruh dunia. Dan kabar soal mobil ini kemudian kian buruk. Memasuki pertengahan 2013, produsen mobil listrik mulai bertumbangan alias bangkrut. Sebut saja, dua perusahaan mobil listrik asal Amerika Serikat, Coda dan Fisker Karma.

Sepinya pemintaan pasar menyebabkan keduanya ketar-ketir, sementara biaya terus membengkak untuk operasional dan membayar karyawan. Bayangkan saja, dalam setahun Coda hanya berhasil menjual 100 mobil sedan listrik.

Sedangkan Fisker mengalami masalah lantaran harga mobil yang dijual kelewat mahal. Hanya orang berkantong tebal, macam artis hollywood Justin Bieber dan Leonardo de Caprio yang jadi konsumen loyal mereka. Mereka kemudian menempuh jalan pintas; banting harga. Kasih diskon besar-besaran. Tapi sayang, cara itu tak juga menolong dari jurang kebangkrutan.

Nasib yang sama merundung produsen mobil listrik dari Israel, yaitu Better Place. Dilansir The New York Times, Senin 27 Mei 2013, Better Place pada akhir pekan kemarin, mengumumkan pabrik mobil listrik akan dilikuidasi. "Ini cara terbaik untuk meminimalkan kehancuran terhadap para karyawan, pelanggan dan kreditur. Ini adalah hari yang sangat menyedihkan bagi kami semua," kata CEO of Better Place Global and Better Place Israel, Dan Cohen.
Padahal, perusahaan yang baru berdiri pada 2007 itu, sudah menyusun rencana ambisius. Melakukan revolusi mobil agar masyarakat tidak lagi tergantung pada minyak. Rencana itu memang kurang masuk akal, sebab pasar sesungguhnya sudah memberi peringatan. Perusahaan yang berbasis di Palo Alto, California, AS itu menargetkan 100 ribu mobil listrik bakal lalu lalang di jalanan Israel pada tahun  2010 lalu. Faktanya meleset jauh. Jika dihitung cuma 1.000 mobil yang ada di jalanan Israel dan beberapa ratus mobil di Denmark.

Melihat perkembangan buruk itu, raksasa otomotif asal Jepang, Amerika, dan Eropa seperti Toyota, General Motors (GM), dan Mercedes-Benz tak mau gegabah jor-joran di mobil Listrik. Mereka memilih cara aman. Tetap fokus di mesin bensin-diesel, serta hibrida (bensin digabung motor listrik). Sedang mobil murni listrik hanya dibuat terbatas.

"Mahalnya harga mobil listrik dibanding mobil berbahan bakar minyak/gas menjadi salah satu alasan utama konsumen enggan membelinya. Mereka juga masih ragu akan masa depan mobil itu, karena masih jarang tersedia tempat pengisian baterai," kata Head of Mercedes Van division, Volker Mornhinweg.

Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia rencana untuk memproduksi mobil listrik secara massal juga terbilang ambisius. Adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, yang cukup getol mengkampanyekan mobil listrik ini.

Sebut saja Tucuxi. Untuk membuat mobil sport listrik tersebut Dahlan rela merogoh kocek hingga miliaran rupiah. Namun sayang, sebelum dijual dan baru dilakukan pengetesan, pada awal Januari lalu, Tucuxi yang dikendarai Dahlan menabrak tebing hingga ringsek, di Magetan, Jawa Timur.

Dahlan juga kini tengah memproduksi mobil listrik jenis sport yang diberi nama Selo. Rencanananya, mobil tersebut bakal rampung pada tahun ini. Mantan petinggi PLN tersebut juga menyampaikan, harga mobil Selo lebih murah daripada Tucuxi.

Sebelumnya, Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudi, mengklaim penggunaan mobil listrik lebih hemat dibandingkan mobil yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Dia menjelaskan bahwa PLN akan mengenakan tarif non subsidi bagi mobil listrik yaitu sebesar Rp1.200 per Kwh. Dengan tarif itu, mobil listrik tetap 1/4 lebih hemat jika dibandingkan mobil berbahan bakar minyak. "Perbandingannya kira-kira 1:4 savingnya, padahal tarif listriknya tidak bersubsidi," kata Nur Pamudji kepada VIVAnews.

Ia menjelaskan dalam satu kali isi ulang mobil listrik hanya akan membutuhkan Rp25.200, dan mobil dapat menempuh perjalanan hingga 150 kilometer. Sedangkan mobil berbahan bakar bensin membutuhkan Rp100.000 untuk jalan sejauh 150 km.


0 komentar:

Posting Komentar